Oleh: TOTO SUHARYA
DALIL WAJIB MENDIRIKAN SHALAT JUMAT
Sebagaimana dijelaskan di dalam Al-qur’an, bagi setiap muslim yang sudah balig wajib melaksanakan shalat jumat.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al Jumu’ah, 62:9).
Barangsiapa meninggalkan shalat jum’at karena meremehkannya tanpa suatu alasan maka Allah Tabaroka wata’ala akan mengunci hatinya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Ada empat orang tidak diwajibkan shalat jum’at yaitu wanita, budak, orang yang sakit dan musafir (bepergian). (HR. Abu Hanifah)
KONDISI NYATA
Perubahan kurikulum telah membawa konsekuensi, perubahan waktu belajar. Setiap hari siswa belajar minimal 8 jam pelajaran, setiap jam pelajaran terhitung 45 menit. Ditambah 60 menit dua kali istirahat, dan 60 menit kegiatan keagamaan shalat dhuha dan ceramah. Maka minimal setiap hari anak-anak harus berada di sekolah selama 8 jam normal, mulai dari jam 7.00 s.d maksimal jam 15.00. Untuk mewujudkan visi sekolah religius, kami menetapkan jam waktu ashar sebagai akhir dari pembelajaran, dengan diakhiri shalat berjamaah.
Selain itu, ASN memiliki kewajiban 37,5 jam per minggu. Jika lima hari kerja maka kewajiban per hari 7,5 jam, ditambah dua kali istirahat 30 menit. Jika masuk jam 7.00 maka ASN minimal pulang jam 15.00. Konseuensinya, pada hari Jumat, ASN dan anak-anak, setelah shalat jumat harus kembali melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
Ketika siswa diberi kebebasan melaksanakan shalat Jumat di masjid luar sekolah, pihak sekolah kesulitan mengatur kedisiplinan siswa untuk kembali tepat waktu ke kelas. Kehadiran siswa kembali ke sekolah (kelas) beraneka ragam, karena perbedaan waktu selesainya jumatan. Dari hasil pengalaman, ketika siswa sholat jumat di luar sekolah, terdapat siswa yang tidak melaksanakan shalat Jumat, nongkrong di warung, merokok dan berprilaku tidak terpuji lainnya yang sulit dikontrol oleh pihak sekolah.
Dengan demikian, pihak sekolah merasa keberatan ketika siswa diberi kebebasan shalat Jumat di masjid luar sekolah, karena akan semakin banyak siswa yang memanfaatkan waktu dengan prilaku tidak terpuji karena terbatasnya pengawasan, dan akhirnya menyepelekan pelaksanaan shalat jumat, sementara mereka masih anak-anak yang ada dalam tanggung jawab pengawasan sekolah. Kesalahan dan kejadian yang terjadi kepada anak-anak selama di jam sekolah maka mutlak berada di tanggung jawab sekolah.
MANFAAT SHALAT JUMAT DI SEKOLAH
Menghadapi kondisi lapangan di atas, pihak sekolah berijtihad mendirikan shalat jumat di sekolah. Dengan pertimbangan dari sudut pandang pendidikan sebagai berikut;
- Melaksanakan dan
menegakkan syariat Islam sejak usia remaja yang rentan dengan pengaruh budaya buruk
dari luar (asing).
- Melaksanakan tujuan pendidikan nasional dalam mencetak generasi beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa.
- Mengintegrasikan ajaran agama ke dalam kurikulum 2013, sebagai pendidikan agama Islam, dan dalam rangka meningkatkan kompetensi spiritual siswa.
- Membiasakan siswa untuk berangkat shalat jumat dengan datang lebih awal.
- Membiasakan siswa untuk bertanggung jawab sebagai penyelenggara shalat jumat dan mengorganisir masjid mulai dari menyediakan sound system, membersihkan masjid, menyiapkan karpet, menjadi muroki, muadzin, dan pelapor keuangan infak sekolah.
- Melatih dan mengajak guru-guru untuk belajar menjadi khatib, dan memahami rukun-rukun shalat Jumat, dan ajaran agama secara lebih mendalam.
- Menghidupkan hubungan ulama dengan sekolah melalui khotib bergilir dari ulama sekitar.
- Menjadikan kegiatan keagamaan sebagai kultur sekolah.
- Menghilangkan stigma negatif, hari jumat sebagai hari pendek, karena terpotong Jumatan.
- Mengisi waktu hari jumat yang penuh berkah dengan kegiatan keagaman, dan pembelajaran.
- Memudahkan pihak sekolah dan membantu orang tua siswa dalam hal pengontrolan siswa laki-laki dalam pelaksanaan shalat Jumat, yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab dunia akhirat bagi orang tua dan pendidik.
SYARAT SAH SHALAT JUMAT BERDASAR IJTIHAD ULAMA
- Keputusan
Muktamar NU ke-4 Di Semarang, tanggal 19 September 1929 M, Nomor. 70 (hal. 65),
memutuskan boleh mendirikan Jumat kurang dari 40 orang, dengan bertaklid pada
imam Abu Hanifah, karena merupakan pendapat imam yang telah dibela dan
diunggulkan oleh para pengikutnya.
- Berdasarkan pada Keputusan Muktamar Konferansi Besar Pengurus Besar Syuriah NU ke-1 Nomor 298, di Jakarta pada tanggal 21-25 Syawal 1379 H./18-22 April 1960 M. (hal.290). Menjelaskan bahwa sejumlah ulama membolehkan pelaksanaan Jumat bagi jamaah yang jumlahnya kurang dari empat puluh, pendapat ini kuat. Jika mereka secara keseluruhan mengikuti pendapat ini maka mereka boleh melaksanakan shalat Jumat. Namun jika mereka bersikap hati-hati maka sebaiknya mereka shalat Jumat kemudian shalat dhuhur.
- Keputusan Muktamar NU ke -27 Nomor 360, di Situbondo Tanggal 8-12 Desember 1984, (hal. 385) MEMUTUSKAN bahwa berdasarkan sikap tidak bereaksinya imam syafii terhadap berbilangnya shalat Jumat di Bagdad, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al Sya’rani bahwa ketidak bolehan jumatan berbilang adalah hanya karena khawatir timbulnya fitnah, sedangkan kekhawatiran tersebut kini sudah tidak ada. Oleh karenanya, maka sesuai dengan hukum dasar, Imam Syafii tersebut di atas, bolehlah melaksanakan jumatan berulang-ulang dalam satu tempat/daerah.
- Hal ini sesuai dengan kehendak Syari’ tersebut di atas. Dasarnya adalah, seandainya berbilangnya jumatan itu memang dilarang, maka pastilah ada hadis walau hanya satu saja yang melarangnya. Dan karena tidak satupun hadis yang melarangnya, maka tidak ada larangan Nabi tersebut menunjukkan bahwa Nabi menghendaki keleluasaan kepada umatnya.
- Keputusan
Munas NU, 20 Nopember 1997, di Ponpes Qomarul Huda Bagu, Lombok Tengah NTB,
(hal. 498). Memutuskan bahwa shalat jumat tanpa mustauthin dan muqimin
atau dengan mustauthin dan muqimin, tetapi tidak memenuhi syarat, hukumnya
tafshil:
- Tidak sah, menurut mayoritas ulama Syafiiyah. Sementara Imam Syafii sendiri dalam qaul qadim (perkataan terhadulu) yang dikuatkan oleh al-Muzanni memandang sah bila jumlah jamaah itu diikuti mustauthin (orang yang bertempat tinggal di tanah kelahiran) minimal 4 orang.
- Imam Abu Hanifah mengesahkan secara mutlak.
PERTIMBANGAN KEPUTUSAN SEKOLAH
- Memperhatikan kuatnya
dalil perintah melaksanakan shalat Jumat bagi muslim laki-laki balig.
- Mempertimbangkan hasil Ijtihad para Ulama dalam Konferensi Besar, dan Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama.
- Memperhatikan beberapa ijtihad ulama dari hasil Muktamar dan Munas NU
- Melekatnya tugas kepemimpinan para guru dan kepala sekolah.
- Melekatnya tugas pendidik dalam menganjurkan, mengawasi, dan membiasakan, anak-anak untuk menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt.
- Melaksanakan tugas agama, negara, dan amanat orang tua siswa sesuai hasil musyawarah untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
KEPUTUSAN SEKOLAH
Sebagai bentuk tanggung jawab muslim dalam melahirkan generasi kuat, beriman dan bertakwa kepada Allah swt, pihak sekolah menjadikan shalat Jumat sebagai bagian terintegrasi dalam kurikulum pembelajaran di sekolah, yang wajib diikuti oleh siswa laki-laki, sebagai bagian pembentukan karakter agamis bagi setiap lulusan. Jika terjadi perbedaan pendapat, kami berpegang kepada apa yang sudah jelas diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah, bahwa diwajibkan setiap muslim (laki-laki) untuk melaksanakan shalat jumat.
“Barangsiapa menaatiku, maka ia berarti menaati Allah. Barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia tidak mentaati Allah. Barang siapa yang taat pada pemimpin berarti ia mentaatiku. Barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia tidak mentaatiku. (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian ijtihad kami sampaikan kepada semua pihak, sebagai dasar kami dalam melaksanakan pendidikan keagamaan di sekolah. Mudah-mudahan menjadi kebaikan dan keberkahan bagi kehidupan masyarakat. Hanya kepada Allah lah kami berserah diri dan semoga Allah swt mengampuni dosa-dosa dan kekhilafan kita semua. Kebenaran mutlak milik Allah dan segala kealpaan datang dari manusia. Wallahu ‘alam.